Group Rock Yang Nyaris Terlupakan
Banyak orang bertanya-tanya manakala belum lama ini group band Christmas Camel diperbincangkan dikoran-koran,Majalah maupun di beberapa blog internet bahkan veteran anak anak muda era 70’an saja banyak yang bertanya – tanya pada penulis tentang tentang Christmas Camel ini yang mana kami jawab bahwa mereka mungkin luput membaca Aktuil terbitan November 1977 yang membahas band yang sekarang jadi buah bibir itu.
Christmas Camel ditasbihkan pada tahun 1975 di Jogja. Para personilnya terdiri dari vokalis/gitaris Haryo Sasongko, vokalis/pemain drum Herry Soetanto, vokalis/pemain keyboard Rudy Wibowo, dan vokalis/pemain bas Koko yang kehandalannya boleh diacungi jempol karena dia sangat menguasai macam – macam genre musik mulai dari folk, art-rock, hingga rock. Mereka muncul dari kampus UGM, IKIP Negeri Jogjakarta, IKIP Sanata Dharma, dan Akademi Musik Indonesia,dengan additional vokalis Bambang Ciptadi disamping deretan nama yang mendukung departemen brass dan string.
“Christmas Camel”. Sendiri antara tahun 1975 – 1978 di Yogyakarta sudah ngetop. Sedangkang nama “Christmas Camel” yang kemudian disebut CC itu diambil dari lagunya Group Procol Harum, yang group prog Inggeris yang malang melintang di era 60-an hingga 70-an . Christmas Camel pernah sepanggung dengan group-group papan atas kita seperti Giant Step, Hooker Man atau God Bless , Farid and Bani Adam, Ogle Eyes, Fannys (dengan mascotnya Joe Santos yang gaya panggungnya seperti Alice Cooper),Terncem dan lain-lain.”Tapi kita kalah popular sama Giant Step, Superkid atau Rollies” Kata Herry Soetanto pada penulis waktu kami memuji dan mengucapkan selamat atas dirilis ulangnya album Christmas Camel itu . yang ini kalacc l
Formasi awal band ini adalah Herry, Oni, Niti dan Koko. Di masa awal dengan formasi baru ini, Christmas Camel masih memainkan lagu-lagu band rock yang saat itu sedang popular namun pada akhirn ya mereka memutuskan bahwa mereka harus membuat arransemen sendiri meskipun lagunya masih lagu Barat. Umpamanya lagu lagu Small Faces atau Rolling Stones namun arransemennya mereka garap sendiri. Semakin sering mereka manggung semakin sering pula mereka membuat arransemen aku Herry Soetanto pada sebuah media namun Oni dan Niti kemudian menemukan tempat yang lebih cocok dan nyaman dalam mengembangkan bakat seninya di bidang musik dengan membentuk group lain, kemudian Kongko dari Gadjah Mada Band (Gama Band) dan Rudy adik yang adik kandung Herry Soetanto itu gabung untuk meneruskan keberadaan Christmas Camel. Dengan pergantian personil tersebut maka jadilah Christmas Camel dengan formasi lengkap Herry Soetanto (drum), Koko (bass), Rudy (keyboard) dan Kongko (gitar). Mereka pernah pula mengajak Hengky dan Harmain untuk menjadi lead vocal tapi entah mengapa urung rencana itu dan tetap berempat dan Christmas Camel tidak mempunyai vokalis utama, mereka berempat saja yang nyanyi pada akhirnya.
Meski hanya membawakan lagu-lagu dari band rock yang sedang populer, Kongko mengaku bahwa selama dia gabung dengan CC dia merasa begitu banyak ilmu yang dapat ditimbanya disana terutama dalam mengenali ragam group-group musik dunia.
Pada Kongko jugalah yang pada akhirnya menjadi sosok sentral dalam membawa Christmas Camel bermetamorfosis menjadi Christmas Camel and Company .
Sangat Selektif
Meski membawakan lagu milik band luar yang sedang populer, mereka tak sekedar mengikuti selera masyarakat umum namun mereka sangat selektif lagu-lagu YES, Queen, Kansas, dan Trapeze sering mereka bawakan karena mereka memang berkecenderungan ke art rock music , bukan sekedar rock tiga chord oleh karenanya penonton yang awam dengan musik art rock jadi agak stunning dibuatnya.
Pilihan bermusik Christmas Camel memang berbeda di jamannya. Dari namanya pun band ini ingin menjelaskan sikap bermusiknya yang berbeda dari kompatriot-kompatriotnya. “Christmas Camel” adalah sebuah judul lagu dari Procol Harum.
Bagi mereka lagu itu melampaui jamannya, mengingat album itu terbit tahun 60-an. Kalau misal kita make nama “Highway Star” atau “Machine Head” orang langsung bias menebak kalau itu lagunya Deep Purple karena memang mereka sedang ngetop sekali di tahun 70-an itu. dengan memakai nama dari lagunya Procol Harum diharapkan muncul image kalau Christmas Camel bukan sekedar grup Hard Rock atau Rock and Roll biasa, tapi memunculkan image kita mainin rock yang sedikit sophisticated jelas Herry pada sebuah media Ibukota. Perbedaan Christmas Camel dengan band sezamannya tak berhenti di situ. Kala itu mereka dikenal sebagai band rock yang kalem. “Kalau dulu kan ada dua tipe band lah istilahnya, band panggung dan band rekaman. Kami ini bisa dibilang masuk ke band panggung, karena emang tampil dari panggung ke panggung. Nah dulu tuh band panggung biasanya cirinya menampilkan showmanship yang gila-gilaan. Grup Bentoel dari Malang, juga AKA atau Terncem dari Solo kalau pentas tuh gila-gilaan. Ada yang bawa peti mati, gigit kelelawar kayak Ozzy Osbourne, pokoknya macem-macem yang teatrikal lah. Kalau kita saat tampil ya biasa aja, enggak pake aksi teatrikal semacam itu,” tutur Rudy.
Mereka menyadari bahwa materi musik Christmas Camel tak cocok untuk dipasangkan dengan aksi teatrikal semacam itu.
Christmas Camel merasa beruntung sekali karena mereka bisa main di November Rock Concert 1976 (merupakan Rock Concert besar di GOR Jawa Tengah dengan tagline, “8 Grup Rock dari enam kota besar) di Semarang dengan beberapa band rock papan atas kala itu seperti Giant Step, Hooker Man, Ogle Eyes, CC Blue, Fannys, Dragon dan Yeah Yeah Boys.
Sepanjang satu setengah tahun Christmas Camel mencoba menggali potensi diri maupun musisi atau penyanyi di luar mereka untuk bekerjasama, lahirlah apa yang dinamakan dengan Christmas Camel and Company. Kongko mengajak Bambang Ciptadi (almarhum) yang merupakan rekan satu bandnya di Gadjah Mada (Gama) Band, yang sesuai namanya merupakan band bentukan mahasiswa Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta.
Christmas Camel and Company kemudian tidak hanya menghadirkan Bambang Ciptadi dalam proyek musik mereka. Juga ada Camatha Vocal Group (yang pernah menyabet juara 1 Festival Vocal Group se DIY) dan Nano Tirta yang kemudian menjadi konduktor dalam Christmas Camel and Company. Nano menjadi sosok penting dalam pengembangan kreatifitas Christmas Camel and Company.
Reinkarnasi grup Christmas Camel dengan atribut Company di belakangnya menghasilkan inovasi yang melampaui zamannya. Sebuah pementasan bernama Ramadhan in Rock mereka gelar di UGM pada 29 Agustus 1977. Pementasan itu adalah momentum memadukan musik rock dengan sebuah orkestra komplit yang sangat eksperimental.
Acara itu merupakan realisasi pentas bersama para musisi dan penyanyi di Yogyakarta dalam koordinasi Christmas Camel and Company. Kolaborasi dalam Ramadhan in Rock memerlukan proses latihan yang memakan waktu sampai dua bulan. Kongko meminta Nano Tirta untuk membuat partitur sekaligus menjadi konduktor untuk konser tersebut.
Lagu-lagu karya Christmas Camel and Company dibawakan, mulai dari “Sebuah Pertanyaan”, “Rumah Mewah Pondok Tua”, “Tabah” dan “Ramadhan in Rock”. Di luar dugaan mereka, sambutan penonton meriah, agaknya karena terkejut senang dengan penampilan bersama penyanyi dan musisi Yogyakarta yang tidak biasa itu.
“Majalah Aktuil pada edisi November 1977 bahkan menulis kalau format live seperti itu baru pertama kali terjadi di Indonesia. Sebab yang lain baru sampai tahap mengikutsertakan pemain alat musik tiup dan gesek, sedangkan Christmas Camel and Company betul-betul aransemen orkestra,” Kongko bercerita pada saya mengenai pementasan 33 tahun lalu itu.
Pementasan itu mengibarkan nama Christmas Camel and Company. “Ibaratnya kalau di Jakarta kan grup rocknya ada Godbless, Bandung punya Giant Step, Malang ada Bentoel terus Solo ada Terncem, nah kalau Jogja ya punya Christmas Camel and Company lah,” tutur Rudy.
Ucapan Rudy bukan tanpa alasan. Theodore KS dalam sebuah tulisannya di Kompas edisi Februari 2005 pernah menulis mengenai hingar bingar musik rock 70-an. Ia menyebut Christmas Camel and Company sebagai salah satu grup pencatat sejarah ketika itu. Theodore KS menulis, “Grup ini (Christmas Camel and Company) cukup digemari di Jawa Tengah serta menjadi grup papan atas Yogyakarta bersama Ambisi dan Machine Head.”
Christmas Camel and Company tak hanya spesial karena musik mereka yang sophisticated atau karena kolaborasi mereka dengan full orkestra yang luar biasa. Christmas Camel juga menjadi spesial karena lirik lagunya yang penuh kritik sosial. Melihat konteks sosio-historis Christmas Camel and Company yang aktif di masa 1970-an saat taring Orde Baru masih tajam mengancam, kritik sosial oleh sebuah band adalah sebuah keberanian yang tidak biasa.
Kritik Sosial Lewat Lirik
Selain bercerita soal kehidupan kampus, lagu-lagu Christmas Camel and Company memang lekat dengan tema permasalahan sosial. Lirik lagu “Rumah Mewah dan Pondok Tua” membandingkan kehidupan keluarga kaya dengan keluarga papa. Keluarga kaya dideskripsikan dengan, “Mencari harta dengan segala cara, tapi bukan keringatnya”. Sementara itu keluarga papa dijelaskan dengan lirik, “Mencari makan dengan cara yang halal, apa daya serba tiada”.
Tak hanya itu, di lagu “Lukisan Bangsaku” mereka menulis, “Si miskin dan si kaya, terlihat begitu nyata. Haruskah ini ada, di tanah tercinta”.
Christmas Camel juga menyoroti masalah kerusakan alam dalam lagu “Keseimbangan”: “Hati-hati mengolah alam, ingatlah keseimbangan”. Lagu ini lebih maju dari zamannya mengingat konteks bahwa permasalahan konservasi belum populer saat itu. Efek booming ekonomi Indonesia karena minyak baru terjadi di tahun 1980-an, dan setelahnya soal-soal konservasi alam baru ramai dibicarakan. Jelas bahwa band ini melampaui zamannya tidak hanya karena musiknya, tetapi juga karena wacana yang mereka lemparkan.
Saya tanyakan perihal hal ini pada Rudy. Ia hanya tersenyum simpul. “Ya kita emang bicara jujur aja, keadaan waktu itu kan emang seperti itu. Bukan untuk protes juga sebenarnya, jadi enggak perlu takut juga, bukan kita memfitnah pemerintah. Ya kalau dipikir-pikir dulu belum ada Iwan Fals yang vokal bicara segala hal, Slank juga belum lahir,” papar Rudy yang saat SMA lebih kerap menggebuk drum ketimbang menekan tuts piano.
Soal ini, Herry memberi pendapat yang sedikit berlainan. “Rasanya bukan hanya Christmas Camel and Company yang bicara soal permasalahan sosial. Kalau disimak karya-karyanya Harry Roesli kan juga bicara banyak soal itu. Tapi mungkin ini juga karena pengaruh kita manusia kampus ya, jadi ada keinginan untuk “memotret” hal-hal seperti itu,” katanya.
Pernyataan Herry diamini oleh Kongko. Ia mencontohkan dengan menjelaskan bagaimana lagu “Rumah Mewah Pondok Tua’ tercipta. “Lagu ini muncul dari diskusi kawan-kawan adik saya tentang masalah sosial, kehidupan kampus dan kenyataan di lapangan yang berbeda. Kelihatannya diskusi itu muncul karena pengaruh program Kuliah Kerja Nyata,” ujar Kongko.
Pengaruh bangku kuliah pula yang membuat mereka menciptakan beberapa lagu yang sangat ‘anak kuliahan’. Misalnya, lagu “Sebuah Pertanyaan” yang seperti bicara tentang permasalahan twenty something yang kerap ditemui oleh mahasiswa, seputar pertanyaan mengenai apa yang harus dikerjakan setelah kuliah. Atau, lagu “Jam Weker” yang justru dengan lucu memotret transformasi penggunaan sepeda dengan jemputan colt saat menuju kampus.
Antara Musik dan Kuliah
Dualitas status sebagai anak kampus sekaligus anak band membuat Christmas Camel and Company pada akhirnya terbentur pada persoalan klasik: memilih berkarier di dunia musik atau mengambil profesi yang sesuai dengan jurusannya masing-masing. Para mahasiswa UGM ini – Rudy dan Koko yang duduk di Fakultas Ekonomi, Herry di Hubungan Internasional, Kongko di Arsitektur, Nano sang konduktor di Fakultas Ekonomi UGM dan Bambang Ciptadi di Fakultas Teknik – pada akhirnya harus membuat keputusan besar untuk karier bermusik mereka.
“Jujur saja, saat itu musik belum bisa dijadikan pegangan untuk hidup. Kalau kita mau hidup dari musik pilihannya dua, total sekali dalam musik seperti Mas Yockie Suryoprayogo, tapi kita enggak bisa karena dasar kita bermusik kan hobi. Atau yang kedua sekalian mengeluarkan album yang ngikutin selera masyarakat. Panbers, The Mercys, The Lloyd misalnya kan sukses karena mereka membuat album rekaman yang sesuai sama selera masyarakat, tapi secara pribadi saya kurang sreg kalau harus main musik dengan genre seperti itu. Akhirnya ya udah kami mutusin untuk mending sekolah aja dulu, entar kalau udah sukses kita produserin sendiri lagu kita, jadi bener-bener puas hasilnya,” papar Rudy mengenai keputusannya untuk tidak menggantungkan hidupnya murni dari musik.
Tapi mereka memutuskan untuk mendokumentasikan Christmas Camel. Herry menjelaskan pada saya. “Terus terang, kami enggak pernah terpikir ke arah merilis album kala itu. Lagipula mana sempat kami mengirim demo rekaman door to door, kita udah keburu sibuk dengan yang baru kita mulai setelah kuliah. Tapi kami mikir saat itu kami harus mencatat apa yang telah kami lakukan. Kami merekam musik Christmas Camel and Company sebagai catatan atas apa yang telah kami capai,” katanya.
“Mau dirilis kapan, itu urusan belakangan lah,” tambah Rudy. CC memang boleh dikata nekad abis (mungkin terilhami oleh nekadnya anak anak Giant Step dalam membuat terobosan dalam memperkenalkan musik prog berbahasa Indonesia yang berjudulKukuh Nan Teguh) mereka merekam tujuh lagu karya mereka sendiri di Studio Pusat Kataketik Jogjakarta antara tahun 1977 -1978. Proses pendokumentasian melalui rekaman tersebut dilaksanakan beberapa minggu setelah Ramadhan in Rock diadakan. Tiga lagu yang dibawakan di Ramadhan in Rock, ditambah dengan lima lagu baru, mereka rekam di Akademi Kataketik di kawasan Kotabaru Yogyakarta.
“Musik seperti yang dimainkan Christmas Camel and Company jelas menyulitkan saat rekaman. Teknologi rekaman dulu hanya dua track, jadi kalau salah bakal ngulang dari awal, dengan kerumitan musik yang kami hadirkan jelas jadi masalah kala itu. Tapi Alhamdulillah kesederhanaan teknologi tak menghalangi, justru dari kesederhanaan itu muncul ide-ide kreatif,” papar Rudy mengingat kejadian puluhan tahun lalu itu.
Setelah Dirilisnya Album Bertahun-tahun kemudian album itu baru bisa beredar. Mereka tentu perlu berterimakasih pada Indonesian Progressive Society (IPS) yang merilis ulang dan mengedarkan album yang berusia lebih dari tiga puluh tahun itu.
Setelah menyelesaikan studi, Christmas Camel vakum dari dunia musik. Mereka punya profesi masing-masing. Meski dengan berat hati melepaskan atribut mereka sebagai duta rock dari kota pelajar, keputusan untuk mendokumentasikan musik Christmas Camel and Company itu mereka syukuri belakangan.
Andy Yulias yang President IPS itu berencana untuk merilis ulang dan mengedarkan album Christmas Camel and Company. Andy yakin bahwa album itu harus disebarkan kepada khalayak luas karena musikalitasnya yang tinggi. “Lagi pula band-band rock Jogja jaman dulu kayaknya jarang yang ngerilis album, kalau band pop mungkin udah ada ya, makanya semacam Christmas Camel harus dirilis, biar orang pada tau gimana musik rock di daerah Jogja waktu itu,” tambahnya.
IPS sendiri tidak berorientasi pada kegiatan merilis produk dari band-band lawas. Untuk Christmas Camel ceritanya menjadi lain. “Ini band emang udah lama, tapi mereka belum pernah kebagian untuk didengarkan orang banyak, ya ini saatnya buat mereka lah istilahnya,” jelas Andy yang juga berharap bahwa Christmas Camel and Company bisa manggung lagi.
Rudy mengaku sama sekali tak menyangka saat dihubungi bahwa album Christmas Camel and Company akan dirilis. “Tahun 2008 kita emang udah re-master rekaman kita sih, ya bersih-bersihin sedikit tanpa ngerubah musiknya sama sekali, tapi ya tujuannya re-mastering aja, enggak mengira kalau bakal ada yang tertarik merilis,” ujarnya.
Kabar baik datang tak hanya dari IPS. Sebuah label asal Kanada juga tertarik merilis album mereka. “Saya enggak tahu bagaimana label Kanada itu tahu tentang Christmas Camel, kemungkinan besar dari Youtube. Waktu itu saya hanya dikontak seseorang dari Bandung yang mengatakan bahwa sebuah label asal Kanada bernama Fading Sunshine Record ingin mengedarkan rekaman Christmas Camel and Company dalam format piringan hitam (vinyl). Draft kontrak sudah dikirim tapi ya lagi-lagi kesibukan kerjaan yang membuat hal itu belum terwujud,” kata Herry. harus dilakukan perombakan musiknya. Masih original dan tetap terkesan old school dan selera 1970an. Karena saat itu industri musik belum seperti sekarang, maka untuk memperkenalkan kepada publik mereka membuat semacam “videoclip” dan ditayangkan di Youtube.
Diedarkannya album Christmas Camel and Company oleh IPS tentu merupakan berkah bagi publik musik di negeri ini. Rencana dirilisnya album itu dalam format vinyl tentu menjadi kabar baik bagi para penggemar vinyl.
Toh bukan dua hal itu yang paling membuat Rudy berbahagia. Dengan wajah yang serius ia mengatakan pada saya, “Diedarkannya album ini seperti menjawab doa kita, bahwa kita dulu milih fokus ke kuliah gak salah, kuliah akhirnya selesai, bisa dibilang sekarang juga udah pada jadi orang semua. Dan cita-cita merilis album sesuai dengan warna musik yang kita pinginin juga kejadian, walau dirilisnya baru tiga puluh tahun kemudian.”
Kini personil Christmas Camel and Company tak lagi bergulat di bidang musik. Koko sang bassis bahkan tidak berada di Indonesia. Ia menjalankan agribisnis di Flipina. Sementara Nano kini bekerja di bidang perbankan. Hanya Herry, Rudy, dan Kongko yang memiliki bisnis sampingan sedikit menyerempet dengan dunia musik. Kongko, selain sibuk dengan pekerjaan utamanya, juga menjalankan bisnis gitar batik. Itu merupakan bisnis mengkreasikan gitar yang dilukis dengan corak batik. Sementara, kakak beradik Herry dan Rudy sempat memproduseri album group pop Jikustik pada album pertama dan kedua di bawah bendera Woodels Production.
Pengalamannya menjadi pemain band tiga puluh tahun lalu dan memproduseri band membuat Herry membandingkan kondisi industri musik dulu dengan sekarang.
“Dilihat dari industrinya, musik jelas lebih maju sekarang. Bahwa industri itu punya orientasi kepada profit dan jalur mainstream, ya memang sejak dulu. Namun bedanya dengan dulu, musisi sekarang yang berada di jalur non-mainstream tetap terbuka peluang bagi mereka memperkenalkan karyanya melalui jalur indie dengan akses pemasaran yang lumayan luas juga. Fans pun bisa mereka garap melalui komunitas. Pada perkembangannya banyak bisnis musik di jalur indie juga bisa menjadi besar ya. Kalau dulu hal seperti itu terbatas,” paparnya.
Mereka Kini
Herry Soetanto sendiri berharap suatu saat mereka bisa bermain kembali dalam sebuah pementasan. Namun ia mengaku sudah bersyukur dengan apa yang telah dicapai Christmas Camel and Company saat ini. “Secara pribadi saya bangga sudah menjadi bagian dari proses bermusik di Christmas Camel and Company. Bermain musik bersama Christmas Camel and Company lebih dari tiga puluh tahun yang lalu sampai beredarnya rekaman gorup ini tahun 2010 sudah lebih dari harapan saya,” ujarnya. Personil CC tentunya sudah tidak main musik lagi. Mereka umumnya sudah punya profesi mulai dari pegawai negeri hingga wiraswasta yang lumayan sejahtera dan Herry Soetanto sendiri kini menjabat Dirjen Perdagangan Luar Negeri itu.
Dalam obrolannya dengan Penulis Herry Soetanto mengatakan “Jangan berharap CC manggung lagi biarlah CC menjadi misteri dalam khasanah Musik Indonesia!”.
(Dari berbagai sumber)