Leo Imam Sukarno atau lebih dikenal dengan nama
Leo Kristi (lahir di Surabaya, Jawa Timur, 8 September 1949) adalah
musisi pengelana yang amat menikmati karier
musiknya di jalanan. Rekan-rekannya seperti
Gombloh atau
Franky Sahilatua memilih untuk “mendarat” di satu tempat, meski secara karya, rekan - rekannya itu tetap bersuara lantang tentang
alam, cinta atau
sosial. Ikut mendirikan satu grup musik beraliran
rock progresif bernama
Lemon Trees bersama
Gombloh dan
Franky, Leo Kristi merasa menemukan
“pengembaraan” musikalnya lewat perjalanan panjang menjelajah
Nusantara. Setelah memisahkan diri dari Lemon Tree's, Leo Kristi lebih suka tampil dalam konser terbuka.
Balada adalah ciri khas dari hampir seluruh musik yang diciptakannya.
Pendidikan Leo Kristi
Leo memasuki dunia Sekolah Dasar pada tahun 1961 di
SD Kristen Surabaya. Setelah itu ia memasuki Sekolah Menengah Pertama (SMP) pada tahun 1964. Pada masa ini Leo juga masuk ke
Kursus Musik Dasar oleh
Tino Kerdijk. Sekolah dilanjutkan di
SMA Negeri 1 Surabaya pada tahun 1967. Ia sempat berkuliah di Jurusan
Arsitektur Fakultas Teknik Institut Teknologi Sepuluh Nopember di Surabaya pada tahun 1971. Ia tidak menyelesaikan kuliahnya, namun di sinilah ia bertemu
Gombloh dan mengawali karier sebagai
pemusik keliling (trubadur).
Dunia musik Leo Kristi
Musik adalah dunia yang dikenalnya sejak kecil. Leo kecil menyimak setiap irama yang dimainkan tiap subuh oleh ayahnya,
Raden Ngabei Iman Soebiantoro, seorang pensiunan pegawai negeri yang juga merupakan seorang
musisi. Sejak kecil, Leo Kristi aktif dalam kegiatan menyanyi di
gereja, bagian dari kegiatan sekolah dasarnya, meskipun ia sendiri
muslim. Leo waktu itu sekolah di SD Kristen, Surabaya pada tahun 1961. Ia berkata bahwa musik baginya sahabat,
menyambut nyanyian sebagai kecintaan.
Di SMP pula ia mendapat sebuah
gitar dari ayahnya. Lalu, ia masuk kursus
Tino Kerdijk,
Direktur Sekolah Musik Rakyat di Surabaya. Untuk menyanyi ia belajar pada
Nuri Hidayat dan
John Topan. Ia juga pernah
kursus gitar pada
Poei Sing Gwan dan
Oei Siok Gwan. Dua orang gitaris yang diakuinya cukup memberi pengaruh musik. Di SMAN 1 Surabaya, ia tidak lepas dari kewajiban berbaris dan ikut menyanyikan lagu-lagu perjuangan di bawah
Tugu Pahlawan. Ia juga bergabung dalam band sekolah beraliran
rock n' roll bernama
"Batara" yang beranggotakan teman-temannya dari SMA:
Ratno, Karim, Soen Ing, Andre Muntu, dan
Harry Darsono (kini menjadi desainer nasional). Mereka kerap kali mereka menyanyikan lagu-lagu milik
The Beatles dan namanya cukup terkenal untuk sebuah band lokal Surabaya.
Di kalangan
wartawan, Leo adalah sosok yang sulit dicari, namun bisa tiba-tiba muncul dan menggelar konser. Sebelum dikenal sebagai musisi, pria yang logat jawa timurannya masih sangat kental ini pernah menjadi penjual buku
Groliers American Books dan
karyawan pabrik cat Texmura. Leo juga pernah menjadi penyanyi di restoran
"China Oriental" dan
"Chez Rose" (1974-1975) dan menyanyi di
LIA dan
Goethe Institut Surabaya.

Musik Leo, yang lahir atas nama grup
"Konser Rakyat" Leo Kristi — semula bersama
Naniel, Mung, dan penyanyi
Tatiek dan
Yayuk, lantas mengubah barisan dengan anggota
Ote, Komang, Cok Bagus, dan penyanyi kakak beradik
Yana dan
Nana van Derkley, selain Mung yang masih tetap menyenandungkan balada, semangat cinta bangsa, dan kisah-kisah rakyat. Grup ini lebih banyak menyanyikan lagu-lagu dalam
genre folk, country, dan didukung dengan lirik-lirik yang puitis. Hampir tak pernah absen dalam beberapa kali pementasan memperingati
Hari Kemerdekaan 17 Agustus di
Taman Ismail Marzuki Jakarta, grup Leo juga menelurkan beberapa album. Di antaranya
Nyanyian Fajar [1975], Nyanyian Malam [1976], Nyanyian Tanah Merdeka [1977], Nyanyian Cinta [1978], Lintasan Hijau Hitam dan Potret Kecil Citra Negeriku [1984], Biru Emas Bintang Tani [1985], dan Catur Paramita [1993]. Bagi grup beliau, rekaman konon lebih merupakan paket dokumentasi perkembangan musik mereka.
Kegembiraan yang dihadirkan oleh Leo Kristi dengan gitar bolong dipangkuannya memang melenakan, sekaligus mengharukan.
Musikus balada lainnya seperti
Franky Sahilatua, Iwan Fals, dan
Doel Sumbang telah dengan sadar berdamai dengan pasar sehingga secara finansial lebih dari berkecukupan.
Leo Kristi tetap setia dengan jalurnya, menggelandang dan bersentuhan langsung dengan kehidupan rakyat jelata dalam proses kreatif penciptaannya. Maka, dengan lagu balada yang sarat dengan lirik patriotisme dan cinta, ia tetap menggelorakan semangat juang.
Referensi
Kuswandini D. Leo Kristi: HIS JOURNEY CONTINUES WITH SPIRIT. The Jakarta Post edisi 5 September 2009.Youtube.com: Konser Rakyat Leo Kristi: Bulan Separuh Bayang